August 05, 2023 • ☕️ 4 min read
Secara alami dalam sebuah contoh kepemimpinan di dunia kerja, timbul kata-kata negatif yang terlontar begitu saja, kondisinya seperti ini;
Saya tidak ikhlas!!!
Job-nya keterlaluan?
Gak Jelas!!!
Malas, Pindah kerja aja!
Mengapa? Lingkungan perusahaan tak dipungiri tengah dalam dominasi the controlling style.
Bila meminjam kata-kata Steven Covey dalam buku Kepemimpinan Berprinsip, gaya menang-kalah, atau berkebalikan kalah-menang, sifatnya ancaman dan penghukuman, pertanda tidak adanya keseimbangan.
Sisi lain, yang jarang disadari penuh adalah para pemimpin itu sendiri manusia sama halnya dengan yang sedang dipimpinnya.
Nah, kondisi tidak sehat ini kok bisa terjadi? Mengapa?
Jawaban singkat semua orang sudah tahu, ini karena kehendak bebas, manusia pada dasarnya dianugrahi “Kemerdekaan”. Tidak sudi diperbudak begitu saja. Evolusi berjalan, tidak ada lagi kenangan zamannya Firaun.
Konsep manusia merdeka ini, menurut Tahir Ahmad dalam buku fenomenalnya yang berjudul, Wahyu Rasionalitas Pengetahuan dan Kebenaran, menyebutkan;
"Kemerdekaan merupakan hak prerogratif setiap makhluk hidup, tidak terkecuali dengan manusia. Kebebasan adalah buah, kehidupan yang bernilai paling tinggi. Manusia adalah lambang kebebasan yang merupakan bagian integral dari dirinya." (Ahmad, Tahir, 2014).
Bila menengok saksi sejarah dalam literatur agama dapat diambil pelajaran berharga adalah perbudakan di jaman Firaun. Di saat kekuasaannya sebagai pemimpin negeri, telah terjadi eksodus besar-besaran kaum terjajah, Bani Israil.
Kisah yang telah diabadikan Al-Quran surah Ad-Dukhan mulai dări ayat 23, dimana sang Nabi, Musa as. atas perintah Allah membawa hijrah kaum ini untuk menyebrangi lautan di malam hari digambarkan suasananya genting dalam kejaran, hingga Tuhan menghukum dengan menenggelamkan Firaun yang sombong serta kekuatan bala tentaranya. Raja bernasib malang dalam kesombongannya menyebut diri “Tuhan” itu tenggelam tanpa penghormatan dan tanpa sanjungan.
Misi sang Nabi Musa as hijrah menjauhi kota dan hidup di hutan belantara bertujuan menjadikan kaum ini karakter pemberani. Melalui petunjuk Allah Yang Maha Tahu, bahwa dampak lamanya di jajah bangsa mesir firaun, telah membekas pada sifat dan karakter Bani Israil menjadi tidak ada keberanian untuk bangkit dari perbudakan.
Namun namanya sunatullah dibumi, sejarah selalunya berulang, ketika negeri-negeri timur dalam dominasinya kolonial barat, termasuk negeri kita punya jalan cerita sendiri.
Diantara suburnya tanah dan luasnya lautan Nusantara, ada narasi yang namanya “Kesengsaraan” si miskin, karena ketimpangan antara kaum Pemodal dan kaum Kromo di zaman itu.
Hal ini terekam dalam surat kabar lawas, Pemberita Makasar;
…………. Pendeknja oleh sebab pengaroeh kaocem modal maka makin banjaklah didoenia ini kaoem jang miskin lagi melarat, sehingga ta dapat merdeka, sebab mendjadi boeroeh. Bagi orang jang melihat sebentaran sadja memang ta kelihatan akan kesengsaraan ini, tetapi barang siapa jang memikirkan dalam2, tentoe kemelaratan jang di tanggoeng oleh si Boeroch alias Kromo itoe seperti laoetanlah besarnja. Bolehkah kemelaratan ini tertanggoeng s-lama-lamanja ??? Itoe saja ta tahoe. Ta” dapatkah kaoem bo roch segenap doenia itoe berichtiar soepaja dapat melempar beban kesengsaraan itoe ??? Atau memangah ini soedah takdir jang didjatoehkan oleh Toehan ??? Dan ta dapatkah kaoem boeroeh itoe meminta takdir jang lain ? Pada persangkaan saja memang semoeanja itoe dengan takdir Toechan. Tetap! alamat takdir itoe soedah tentoo ada, jaitoe "ichtiar”. Djadi apabila nanti Toehan mendjatochkan kesenangan bagi kaoem Boeroeh segenap doenia seperti halnja kaoem Modal pada masa sekarang ini, tentoe soedah kita berichtiar lebih doeloe. Maka ichtiar lebih doeloe. Maka ichtiar kaoem boeroeh jang sebaik-baiknja itoe ialah bersatoe, .... (Soerat Chabar: Pemberita-Makasar No.287, hal. 2. Rebo 19, Desember 1923 Tahon ka XIX)
Ketimpangan yang terjadi mungkin ini sebagai hukum keseimbangan alam. Gaya berkomunikasi sesama insan manusia ini tentu tak bisa terhapus dalam semalam.
Tidak ada solusi lain, memimpin adalah proses belajar. Kita harus terbiasa dengan sudut pandang, bahwa kelahiran kita tercipta sebagai makhluk yang sama.
Kita percaya, ada pedoman Nabi Agung Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang telah meletakkan dasar persaudaraan yang melingkupi seluruh umat manusia;
“Wahai sekalian manusia! Tuhan-mu itu Esa dan bapak-bapakmu satu jua. Seorang orang Arab tidak mempunyai kelebihan atas orang-orang non Arab. Seorang kulit putih sekali-kali tidak mempunyai kelebihan atas orang-orang berkulit merah, begitu pula sebaliknya, seorang kulit merah tidak mempunyai kelebihan apa pun di atas orang berkulit putih melainkan kelebihannya ialah sampai sejauh mana ia melaksanakan kewajibannya terhadap Tuhan dan manusia. Orang yang paling mulia di antara kamu sekalian pada pandangan Tuhan ialah yang paling bertakwa di antaramu” (Baihaqi).
Kata-kata agungnya telah terekam abadi.
Ini sepemahaman dengan konsep Equalitarian sebagai pilihan interaksi cara berkomunikasi sesama manusia, dan dalam adopsi memimpin ada prinsip kesamaan, persamaan dalam memperlakukan umat manusia.
The equalitarian style of communication ini ditandai dengan berlakunya arus penyebaran pesan-pesan verbal secara lisan maupun tertulis yang bersifat dua-arah (two-way traffic of communication). Tindakan komunikasi dilakukan secara terbuka, artinya, setiap anggota organisasi dapat mengungkapkan gagasan ataupun pendapat dalam suasana yang rileks, santai dan informal. Jika punya cita bersama harusnya tak ada lagi membangun jarak. Terimakasih.
Back to Blog list • Edit on GitHub • Discuss on Twitter

Personal blog by A Rahman.
Menulis untuk mengingatnya.